Jakarta, Faktualbisnis.com
Keamanan pangan merupakan persoalan serius yang perlu menjadi perhatian kita semua. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama. Hanya dengan pangan yang aman, kita dapat memperoleh manfaat penuh dari nilai gizinya. Namun, pangan rentan terkena cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengonsumsinya.
Melansir www.kompas.id, beberapa waktu lalu, sebanyak 10 juta hingga 22 juta orang di Indonesia mengalami diare karena pangan dan air yang terkontaminasi dengan kerugian ekonomi sebesar Rp 70,5 triliun hingga Rp 250,5 triliun dalam setahun. Kerugian bisa jauh lebih besar karena efek jangka panjang pangan dan air yang terkontaminasi bisa menyebabkan lebih dari 200 penyakit, selain masalah gizi hingga stunting pada anak-anak.
Adapun, penyakit yang ditularkan melalui pangan (foodborne illness), baik akibat mikroorganisme maupun kimia, telah menjadi beban utama kesehatan masyarakat, tetapi kerap terabaikan. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2015, sekitar 600 juta orang, atau hampir 1 dari 10 orang di dunia, jatuh sakit setelah mengonsumsi makanan yang terkontaminasi dan 420.000 orang meninggal setiap tahun (Kompas, 27/2/2023).
Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN), Kukuh S Achmad di Kantor BSN, Jakarta dalam Peringatan Hari Keamanan Pangan Dunia Tahun 2023 dengan tema “Food standards save lives” atau standar pangan menyelamatkan kehidupan, pada Rabu (7/6/2023) mengatakan, untuk menjaga keamanan pangan dalam rantai pangan “from farm to fork”, maka penting penyusunan standar-standar pangan yang dapat dijadikan acuan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pangan tersebut.
Standar pangan itu sendiri, menetapkan antara lain batas maksimum kontaminan, residu pestisida, residu obat hewan, dan bahan tambahan pangan. Selain itu, standar pangan juga memastikan pangan dapat diukur, dikemas, dan didistribusikan secara aman. Penggunaan standar pelabelan juga memberikan informasi yang jelas bagi konsumen untuk memilih pangan yang baik dan mencukupi kebutuhan gizinya.
Dengan adanya pemenuhan komoditas pangan terhadap standar-standar pangan, Kukuh menilai akan memberi dampak ekonomi. “Produsen pangan atau pebisnis pangan dapat terlindungi karena produk pangan yang diperdagangkan memenuhi standar maupun regulasi pangan sehingga dapat terhindar dari penolakan dalam perdagangan internasional serta menghindari terjadinya keracunan pangan,” jelas Kukuh.
Adanya standar pangan, juga melindungi kehidupan dengan ditetapkannya kriteria-kriteria dimana pangan harus memenuhi aspek perlindungan konsumen dan meningkatkan kepercayaan terhadap produk.
Begitu pula, saat adanya penarikan mie instan beberapa waktu lalu di Taiwan dan Malaysia yang diduga mengandung residu etilen oksida (EtO).
Menindaklanjuti hal tersebut, Kukuh mengungkapkan, berdasarkan keputusan Komite Nasional Codex Indonesia, dimana BSN selaku Codex Contact Point Indonesia bersama kementerian/lembaga serta stakeholder lainnya yang terkait, Indonesia (BPOM) telah mengusulkan penetapan BMR EtO (dan atau 2-CE) masuk ke dalam daftar prioritas bahan yang perlu dikaji oleh Codex pada sidang Codex Committee on Contaminants in Foods (CCCF) pada 18 April hingga 21 April 2023 lalu. Indonesia menyatakan bahwa kasus EtO dan 2-CE saat ini telah membuat gangguan pada perdagangan pangan internasional.
Usulan Indonesia ini telah dibahas, namun ditunda untuk dipertimbangkan pada CCCF berikutnya, sambil meminta masukan dari komite Codex lainnya, apakah EtO perlu dikaji sebagai kontaminan atau sebagai residu pestisida. Mengingat kondisi pertanian dan pangan yang ada, Indonesia menginginkan bahwa EtO perlu dikaji sebagai kontaminan.
“Usulan ini perlu diperjuangkan, agar status keamanan pangan terkait dengan EtO dan 2-CE ini menjadi jelas dan memberikan kepastian hukum internasional bagi praktik bisnis pangan dan ketenangan bagi masyarakat konsumen,” tutur Kukuh.
Melansir www.bisnisindonesia.id, Guru Besar Teknologi Pangan IPB, Purwiyatno Hariyadi, menjelaskan yang dimaksud EtO adalah gas beracun dengan rumus C2H4O yang membunuh sebagian besar mikroba, termasuk spora bakteri. Karenanya, EtO digunakan untuk fumigasi/sterilisasi hasil pertanian, misalnya rempah-rempah. Kegunaan utamanya saat ini adalah untuk sterilisasi perangkat medis sampai sekarang, termasuk di UE.
Secara internasional, Indonesia telah menjadi anggota Codex Alimentarius Commission sejak 1971.Codex Alimentarius Commission merupakan badan internasional yang dibentuk berdasarkan FAO/WHO Food Standards Programme yang bertugas untuk mengembangkan standar pangan internasional.
Sejak menjadi anggota Codex, Kukuh menuturkan, Indonesia telah berkontribusi dan berpartisipasi aktif baik dalam proses pengembangan standar maupun dalam kepemimpinan di forum Codex. “Capaian Indonesia antara lain dalam pengembangan standar,seperti menjadi pengusul/konseptor standar mie instan (instant noodle), tempe, tepung sagu (edible sago flour), dan standar yang baru saja ditetapkan menjadi standar internasional Codex adalah pala (nutmeg), dan bawang merah (shallot); serta menjadi Chair/Co-chair Electronic Working Group (EWG) pada pembahasan revisi food category system, processing aid, dll,” ungkap Kukuh.
Tercatat hingga saat ini, BSN telah menetapkan 3.192 SNI terkait Pertanian dan teknologi pangan, Adapun, SNI terkait keamanan pangan, diantaranya SNI CXC 1:1969 Prinsip Umum Higiene Pangan (revisi 2020); SNI ISO 22000:2018 Sistem Manajemen Keamanan Pangan – Persyaratan untuk organisasi dalam rantai pangan; SNI ISO/TS 22002 series terkait Program persyaratan dasar keamanan pangan; standar sistem manajemen keamanan pangan lainnya; serta standar produk dan metode uji.
Melalui standar keamanan pangan serta keterlibatan para pemangku kepentingan, Kukuh berharap dapat mewujudkan pangan yang aman, terlindungi dan menyelamatkan kehidupan.
“Hal ini akan membawa kepentingan Indonesia atas standar-standar yang disusun oleh Codex, dengan sinergi yang kuat termasuk dalam penyediaan data ilmiah yang tepat dan akurat. Penyediaan data tentunya dapat juga didukung oleh Pemerintah Daerah atau Dinas-Dinas terkait agar data yang didapatkan mencerminkan kondisi sebenarnya di Indonesia. Sehingga, dapat tercapai jaminan kesehatan konsumen dan terciptanya praktik yang adil dalam perdagangan pangan,” pungkas Kukuh. (Ikh)